Beranda | Artikel
MENJADI MUSLIM YANG SUKSES
Senin, 15 Desember 2008

Mendapatkan ketentraman dan hidayah di dunia dan di akhirat merupakan tolok ukur kesuksesan. Sedangkan hal itu tidak mungkin diperoleh kecuali dengan tauhid yang bersih dari berbagai macam kotoran dan penyimpangan, terutama dosa kesyirikan.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al An’aam : 82). Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami ini orang yang tidak menzalimi dirinya ?” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya maksud ayat itu bukanlah sebagaimana yang kalian sangka. Tidakkah kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba yang shalih, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat besar” (QS. Luqman : 13). Yang dimaksud dengan zalim dalam ayat itu adalah syirik”.” (HR. Al Bukhari (32), Muslim (124), Imam Ahmad (6/69/3589) cet. Ar Risalah, dikutip dari Ibthaalu Tandiid, hal. 19-20)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini. Karena sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman ini (syirik) maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan petunjuk…” (Fathul Majiid, hal. 34)

Imam Ibnu Jarir membawakan sebuah riwayat dari Rabi’ bin Anas bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ikhlash (memurnikan ibadah) untuk Allah saja. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja. Mereka tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya. Mereka itulah yang akan merasakan keamanan pada hari kiamat serta memperoleh hidayah di dunia maupun di akhirat” (lihat Fathul Majiid, hal. 34)

Syaikhul Islam mengatakan, “Barangsiapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam kezaliman : berbuat syirik, menzalimi sesama hamba, dan menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’, red). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi karena perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri.”

Beliau melanjutkan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik” itu bukan berarti barangsiapa yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash Al Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga” (Fathul Majiid, hal. 35).

Kemudian beliau rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila yang dimaksud dengan sabda Nabi, “Sesungguhnya yang dimaksud di sini adalah syirik” adalah syirik akbar saja, maka maksudnya ialah barangsiapa yang tidak melakukan syirik akbar maka dia kelak akan mendapatkan rasa aman dari siksaan dunia dan akhirat yang dijanjikan Allah untuk orang-orang musyrik (karena dengan terbebas dari syirik akbar dia bukan termasuk golongan orang musyrik, red). Dan apabila yang beliau maksud adalah jenis kesyirikan, maka perbuatan hamba dalam menzolimi dirinya sendiri seperti bersikap kikir karena demikian besar cintanya kepada harta sehingga tidak mau menunaikan kewajiban berinfak juga tergolong syirik ashghar. Begitu pula kecintaannya kepada sesuatu yang dibenci oleh Allah ta’ala sampai-sampai membuatnya lebih mendahulukan kepentingan hawa nafsunya di atas kecintaan kepada Allah juga termasuk syirik ashghar, dan lain sebagainya. Maka golongan orang semacam ini akan semakin kehilangan unsur keamanan dan petunjuk sesuai dengan banyaknya syirik ashghar yang dilakukannya. Berdasarkan sudut pandang inilah para ulama salaf dahulu juga mengkategorikan perbuatan-perbuatan dosa (selain syirik) ke dalam jenis syirik ini” dinukil secara ringkas. Demikian kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah” (lihat Fathul Majiid, hal. 35)

Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah kesyirikan. Sehingga makna ayat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh bahwa makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka” ialah mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun” (lihat At Tamhiid, hal. 24).

Ketentraman dan hidayah inilah yang disebut dengan al amn al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq (lihat Al Qaul Al Mufid I/35-36). Artinya seorang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik pasti memperoleh hidayah dan rasa aman. Hidayah di dunia dengan ditunjuki meniti jalan yang lurus (mendapat taufik untuk memeluk dan mengamalkan Islam sampai mati dan tidak melakukan pembatal keislaman). Sedangkan hidayah di akhirat berupa bimbingan untuk masuk surga. Adapun rasa aman di dunia berupa rasa tentram di dalam hati dan tidak bersedih karena selain Allah. Dan akhirnya adalah mendapatkan rasa aman di akhirat, yaitu diselamatkan dari terus menerus dalam siksaan api neraka (lihat At Tamhiid, hal. 25 dan Al Qaul Al Mufid, hal. 35-36). Inilah balasan yang akan didapatkan oleh semua orang yang bertauhid.

Anda ingin menjadi seorang muslim yang sukses? Maka marilah kita bersihkan diri kita dari kotoran syirik besar maupun syirik kecil dan dari segala bentuk kezaliman. Semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita untuk istiqamah di atas agama yang hanif ini hingga ajal menjemput kita dan Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: http://abumushlih.com/menjadi-muslim-yang-sukses.html/